Selasa, 22 Oktober 2013
Kamis, 10 Oktober 2013
MENUNGGU KESIAPAN KURIKULUM 2013
MENUNGGU KESIAPAN KURIKULUM 2013
Oleh
Achmad Junaedi
Kurikulum 2006 memang sudah berjalan selama 6
tahun. Makanya jika ada keinginan untuk mengubah atau merekonstruksi kurikulum
tentu bukanlah sebagai sesuatu yang aneh. Perubahan kurikulum adalah sesuatu
yang sangat lazim di negara manapun. Makanya kalau di negara kita juga terdapat
keinginan untuk merekonstruksi kurikulum tentunya bukanlah kejadian yang
aneh.
Sejak negara Republik Indonesia berdiri, tercatat pergantian
atau perubahan kurikulum sekolah-sekolah terjadi pada tahun 1947, 1952, 1964,
1968, 1975, 1984, 1999, 2006, dan 2013. Usia kurikulum paling pendek ialah dari
tahun 1964 yang diganti tahun 1968, hanya empat tahun. Yang paling lama ialah
Kurikulum 1952 yang diganti tahun 1964, umurnya 12 tahun. Pergantian kurikulum
yang relatif sering itu mencuatkan kesan, “Ganti menteri ganti kurikulum, ganti
buku.”
Ada gelitik yang menarik dari pengalaman saya ketika dalam
suatu perjalanan pulang dari pembukaan Porseni tingkat SD/MI di suatu kecamatan
di Kota Lumajang, saya beserta teman duduk di tepi jalan, pada saat itu saya
melihat ada beberapa anak berseragam SD pulang sekolah, pada saat itu jam menunjukkan pukul 09,10,
karena rasa penasaran saya tanya anak itu “lho koq sudah pulang? Jawab anak itu
iya pak saya pulang setiap hari pukul 09.00 karena saya masih kelas satu kata
anak itu”, saya dan teman terkejut juga dengan jawaban anak itu, karena saat
ini tahun 2013 akan diberlakukan kurikulum 2013, koq masih ada sekolah yang
menerapkan kurikulum sewaktu saya masih sekolah di tingkat SD sekitar tahun
1970, saya jadi bergurau dengan teman, biarpun kurikulum berganti tetap saja
mereka belajar dengan waktu sesingkat itu.Melihat fakta tersebut akankah
kurikulum tetap berganti-ganti?
Setiap pergantian kurikulum, nyaris tidak pernah ada
keterangan mengapa kurikulum perlu diganti. Setidaknya alasan itu dibicarakan
di kalangan pejabat pengambil keputusan di Kementerian Pendidikan. Namun,
alasan itu tidak pernah mengemuka, sehingga masyarakat luas, terutama orang tua
murid yang secara langsung mendapat beban tambahan akibat perubahan kurikulum
tidak mengetahuinya. Bahkan, ironisnya, para anggota DPR juga tidak pernah
terdengar ada yang mempertanyakan mengapa kurikulum diganti dan kemana arah
masa depan anak didik atau hari depan bangsa ini akan dibawa.
Hakikat
perubahan kurikulum 2013 adalah pada penajaman kurikulum 2006 tentang kurikulum
berbasis kompetensi atau disingkat KBK. Yang berbeda hanyalah pendekatannya
saja yang disebut sebagai pendekatan tematik integratif. Di dalam pendekatan
baru ini, maka mata pelajaran itu akan diintegrasikan berdasarkan tema-temanya.
Disebut sebagai tematik sebab yang ditonjolkan di dalam kurikulum ini adalah
tema-tema yang akan dibahas di dalam setiap minggunya. Misalnya satu tema
tentang “diri sendiri: jujur, tertib dan bersih” akan di atas selama empat
Minggu. Baik yang terkait dengan mata pelajaran matematika, mata pelajaran
PPKN, mata pelajaran Bahasa Indonesia, mata pelajaran pendidikan jasmani,
olahraga dan kesehatan serta mata pelajaran seni, budaya dan desain.
Dari sisi ingin merumuskan integrasi antar mata pelajaran, saya kira tidak ada hal yang mengkhawatirkan. Artinya, bahwa memang melalui pendekatan tematik integratif ini, maka akan diperoleh pengetahuan yang komprehensif di dalam memandang masalah secara tematik. Hanya saja saya pernah protes tentang pendekatan tematik integratif yang tidak memasukkan unsur mata pelajaran agama di dalamnya. Setelah ditelisik, ternyata bahwa mata pelajaran agama diberikan otoritas untuk diselenggarakan secara mandiri mengingat bahwa problem agama memang lebih rumit dibandingkan yang lain. Pemberian otoritas kepada mata pelajaran agama didasari oleh kompleksnya aspek teologis, ritual dan aspek doktrinal dan normatif yang memang tidak bisa diintegrasikan.
Sebagai salah satu komponen tenaga kependidikan kami sungguh merasakan bahwa melalui pendekatan tematik integratif ini, maka akan didapati satuan-satuan kurikulum yang tidak bertumpu pada mata pelajaran tetapi pada tema yang diajarkan atau dipelajari. Semakin tinggi kelas, maka semakin tinggi kompetensi inti dan kompetensi dasarnya, sehingga akan didapati perubahan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang secara gradasi akan bertambah. Pertambahan tersebut tidak pada kompetensi intinya, akan tetapi pada kompetensi dasar dan indikator-indikatornya. Misalnya, untuk kompetensi inti pada mata pelajaran agama, “menerima dan menjalankan ajaran agamanya”, maka pada kompetensi dasarnya yang semakin meningkat secara gradual. Demikian pula pada indikator-indikatornya.
Dilihat dari keinginan untuk merumuskan pendekatan tematik integratif, maka kami menyatakan apresiasi sebab ada keinginan untuk mengembangkan kurikulum yang berbasis pada pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang utuh tanpa keinginan untuk meniadakan mata
Pelajaran yang memang harus ada. Setiap tema tentu akan dapat di atas dari berbagai sudut pandang mata pelajaran. Akan tetapi tentu lalu ada tema-tema yang hanya bisa didekati dengan beberapa mata pelajaran dan tidak semua mata pelajaran. Di dalam konteks ini, maka tentu tidak bisa dipaksakan bahwa setiap mata pelajaran harus terintegratif. Dilihat dari konteks ini, maka pendekatan tematik integratif juga masih membuka peluang untuk terjadinya peluang berbeda.
Namun demikian, yang menjadi kerisauan adalah ketika beberapa mata pelajaran harus dihapuskan, seperti IPA dan IPS yang harus dimasukkan ke dalam mata pelajaran lain secara integratif tersebut. Bagi saya memasukkannya mata pelajaran IPA ke dalam bahasa Indonesia atau mata pelajaran lain tentu akan tetap mengandung kelemahan. IPA, terutama adalah mata pelajaran yang sangat penting di dalam membangun kemampuan penguasaan sains baik di masa sekarang maupun masa Depan. Makanya, ketika ada keinginan untuk menghapuskan mata pelajaran ini, maka ada sejumlah keberatan terutama dari ahli di bidang sains.
Ada sejumlah kritikan bahwa dengan menghapus IPA dan memasukkannya ke dalam mata pelajaran lain, maka akan menghilangkan esensi IPA yang memang harus diajarkan secara optimal. Berdasarkan pengamatan para ahli bahwa dengan menghilangkan IPA di dalam mata pelajaran dan memasukkannya di dalam mata pelajaran bahasa, maka akan terdapat kerumitan untuk menjelaskan konsep-konsep dasar IPA yang memang harus diajarkan tersendiri.
Bolehlah dengan dalih pendekatan integratif maka mata pelajaran IPA juga akan terkena hukum itu, akan tetapi satu hal yang penting adalah bahwa esensi IPA sebagai mata pelajaran tidak bisa direduksi dengan dalih pendekatan tematik integratif. Bolehlah misalnya ketika berbicara tentang “tema keluarga”, maka di situ ada matematikanya, ada biologi nya, ada ilmu sosialnya dan sebagainya, akan tetapi penjelasan tentang konsep IPA tentu harus memperoleh ruang yang memadai.
Dengan demikian, perubahan kurikulum ini tentunya harus disambut dengan gembira, akan tetapi kita juga tetap harus memberikan ruang untuk mendiskusikan secara tuntas terutama yang menyangkut esensi struktur kurikulum, agar generasi yang akan datang tidak menyalahkan kita bahwa kelemahan kemampuan IPA kita menjadi rendah karena keinginan untuk menerapkan pendekatan integratif yang sesungguhnya sangat baik tersebut
Dari sisi ingin merumuskan integrasi antar mata pelajaran, saya kira tidak ada hal yang mengkhawatirkan. Artinya, bahwa memang melalui pendekatan tematik integratif ini, maka akan diperoleh pengetahuan yang komprehensif di dalam memandang masalah secara tematik. Hanya saja saya pernah protes tentang pendekatan tematik integratif yang tidak memasukkan unsur mata pelajaran agama di dalamnya. Setelah ditelisik, ternyata bahwa mata pelajaran agama diberikan otoritas untuk diselenggarakan secara mandiri mengingat bahwa problem agama memang lebih rumit dibandingkan yang lain. Pemberian otoritas kepada mata pelajaran agama didasari oleh kompleksnya aspek teologis, ritual dan aspek doktrinal dan normatif yang memang tidak bisa diintegrasikan.
Sebagai salah satu komponen tenaga kependidikan kami sungguh merasakan bahwa melalui pendekatan tematik integratif ini, maka akan didapati satuan-satuan kurikulum yang tidak bertumpu pada mata pelajaran tetapi pada tema yang diajarkan atau dipelajari. Semakin tinggi kelas, maka semakin tinggi kompetensi inti dan kompetensi dasarnya, sehingga akan didapati perubahan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang secara gradasi akan bertambah. Pertambahan tersebut tidak pada kompetensi intinya, akan tetapi pada kompetensi dasar dan indikator-indikatornya. Misalnya, untuk kompetensi inti pada mata pelajaran agama, “menerima dan menjalankan ajaran agamanya”, maka pada kompetensi dasarnya yang semakin meningkat secara gradual. Demikian pula pada indikator-indikatornya.
Dilihat dari keinginan untuk merumuskan pendekatan tematik integratif, maka kami menyatakan apresiasi sebab ada keinginan untuk mengembangkan kurikulum yang berbasis pada pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang utuh tanpa keinginan untuk meniadakan mata
Pelajaran yang memang harus ada. Setiap tema tentu akan dapat di atas dari berbagai sudut pandang mata pelajaran. Akan tetapi tentu lalu ada tema-tema yang hanya bisa didekati dengan beberapa mata pelajaran dan tidak semua mata pelajaran. Di dalam konteks ini, maka tentu tidak bisa dipaksakan bahwa setiap mata pelajaran harus terintegratif. Dilihat dari konteks ini, maka pendekatan tematik integratif juga masih membuka peluang untuk terjadinya peluang berbeda.
Namun demikian, yang menjadi kerisauan adalah ketika beberapa mata pelajaran harus dihapuskan, seperti IPA dan IPS yang harus dimasukkan ke dalam mata pelajaran lain secara integratif tersebut. Bagi saya memasukkannya mata pelajaran IPA ke dalam bahasa Indonesia atau mata pelajaran lain tentu akan tetap mengandung kelemahan. IPA, terutama adalah mata pelajaran yang sangat penting di dalam membangun kemampuan penguasaan sains baik di masa sekarang maupun masa Depan. Makanya, ketika ada keinginan untuk menghapuskan mata pelajaran ini, maka ada sejumlah keberatan terutama dari ahli di bidang sains.
Ada sejumlah kritikan bahwa dengan menghapus IPA dan memasukkannya ke dalam mata pelajaran lain, maka akan menghilangkan esensi IPA yang memang harus diajarkan secara optimal. Berdasarkan pengamatan para ahli bahwa dengan menghilangkan IPA di dalam mata pelajaran dan memasukkannya di dalam mata pelajaran bahasa, maka akan terdapat kerumitan untuk menjelaskan konsep-konsep dasar IPA yang memang harus diajarkan tersendiri.
Bolehlah dengan dalih pendekatan integratif maka mata pelajaran IPA juga akan terkena hukum itu, akan tetapi satu hal yang penting adalah bahwa esensi IPA sebagai mata pelajaran tidak bisa direduksi dengan dalih pendekatan tematik integratif. Bolehlah misalnya ketika berbicara tentang “tema keluarga”, maka di situ ada matematikanya, ada biologi nya, ada ilmu sosialnya dan sebagainya, akan tetapi penjelasan tentang konsep IPA tentu harus memperoleh ruang yang memadai.
Dengan demikian, perubahan kurikulum ini tentunya harus disambut dengan gembira, akan tetapi kita juga tetap harus memberikan ruang untuk mendiskusikan secara tuntas terutama yang menyangkut esensi struktur kurikulum, agar generasi yang akan datang tidak menyalahkan kita bahwa kelemahan kemampuan IPA kita menjadi rendah karena keinginan untuk menerapkan pendekatan integratif yang sesungguhnya sangat baik tersebut
Kurikulum
baru yang akan menggantikan kurikulum lama diyakini lebih baik, namun Kurikulum
2013 yang akan menggantikan kurikulum 2006 belum diuji cobakan agar masyarakat
dapat memberikan masukan. Sementara, guru-guru yang akan melaksanakan kurikulum
2013 itu masih akan dilatih dulu. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Kurikulum
2013 sepertinya hanya coba-coba saja terhadap jutaan siswa-siswa sekolah di
negeri ini.
Sangat memprihatinkan, kenyataan tersebut menunjukkan bahwa
para ahli yang menjadi pejabat berwenang pengambil keputusan dalam bidang
pendidikan, tidak pernah memikirkan anak didik. Semua yang dikedepankan hanya
keinginan sendiri atau pendapat sendiri sesuai asumsi atau pendapat yang
dimilikinya.
Kurikulum 2013 yang dibangga-banggakan, akan berapa tahun
umurnya? Melihat persiapan yang serba terburu-buru, boleh jadi beberapa tahun
ke depan akan ada kurikulum baru yang menggantikannya.
Belum lagi
kalau kita menyimak dari akibat yang di timbulkan dari pemberlakuan kurikulum
2013 akan ada dampak bagi nasib guru-guru yang mengajar Tehnik Informatika,
akan dikemanakan mereka, bagaimana nasib Tunjangan profesi mereka ketika mereka
tidak lagi dapat mengajar 24 jam mengajar sebagai prasyarat untuk mendapat
tunjangan sertifikasi?. Memang mereka akan di beri tugas kepada mapel yang
terdekat, tetapi hal itu tidak semudah membalik tangan, apalagi jika dikaitkan
derngan keberagaman sumberdaya, intake dan klompleksitas mapel yang akan di
pegang oleh guru TI tersebut. Demikian halnya dampak yang terjadi pada guru-guru
kelas di tingkat dasar yang akan kekurangan jam mengajar sebagai dampak dari
dihapuskan (diintegrasikan) mapel IPA dan IPS, padahal sekarang ini terjadi
overload guru di seluruh tingkatan, ini akan membuat pusing dalam pembagian
tugas mengajar, sebagai dampak struktur
kurikulum baru tersebut.
Satu sisi
nilai plus dari kurikulum 2013 adalah penajaman dari authentic assessment,
sehingga siswa dapat di value dengan tepat akan kemampuan mereka, tidak seperti
halnya yang dilakukan selama ini siswa hanya dinilai dari sisi kognitif saja,
walaupun ada ranah psikomotor dan afektif, tetapi pada kenyataannya di lapangan
guru lebih banyak menilai siswa dari sisi kognitif saja dan sampai saat ini
masih terjadi, bahkan yang saya amati penilaian kognitif ini menjadi satu-satunya
system penilaian yang dilakukan oleh kebanyakan guru.
Belum lagi
kalau kita membahas kesiapan dari guru dalam hal melaksanakan authentic
Assesment, pastilah kemampuan mereka beragam hal ini disebabkan beberapa factor
antara lain, LPTK tempat nereka menimba ilmu tidak menyampaikannya, pembinaan
guru terkait dengan authentic assessment tidak merata, sarana prasarana tidak
tersedia atau pendanaan yang kurang tersedia. Jika permasalahan-permasalahan di
atas belum juga teratasi, saya khawatir pelaksanaan kurikulum 2013 akan lewat
seperti angin lalu saja, dan akan bernasib sama dengan kurikulum sebelumnya
seperti halnya pengalaman penulis pada suatu Kecamatan di atas.
Langganan:
Postingan (Atom)